Sepenggal Kisah: Angin

Ada percikan kebahagiaan yg aku lihat dari matanya saat ia bercerita kepadaku senja tadi. Cerita tentang ia dan kamu. Ia tampak tersenyum manakala ia mendapat balasan pesan singkat darimu. Padahal bagiku sederhana sbg pendengar, tapi baginya jawabanmu seolah menjadi obat mujarab dari sebuah penantian.

Kukira rona bahagia itu akan bertahan lama, tapi aku salah. Mendadak ia kembali kehilangam sorot mata yg sempat memendar cahaya. Ia kali ini tertunduk. Aku hafal sekali sikap ini. Ia berkata padaku bahwa kau menolak rencananya untuk bisa bertemu dengannya dan kau hanya bilang: “aku ga bisa. Ok. Aq lagi ga ada anggaran untuk jalan jalan.”

Tahukah kau, dia berulang kali merengek padaku untuk pergi ke pantai seolah ia tak pernah pergi kesana sebelumnya. Tapi aku tahu, kalaupun aku mengiyakan, semuanya percuma karena dihatinya ia ingin bisa menghabiskan waktu bersama itu denganmu. Ya, meski hanya sekedar berjalan di dermaga atau menyusuri jejak di pinggir pantai.

Tahukah kau mengenai hal ini? Bahwa di setiap malam menjelang tidur ia mengirimkan pesan singkat, hampir setiap malam, mengungkapkan betapa ia rindu pada masa dimana kalian bersama. Dan tahukah kau, kalau kau adalah serpihan terakhir yang tersisa dihatinya dari keping ia sebut sebagai “nakama”?

Leave a comment