Rembulan Malam

Pertama kali aku melihatnya, dulu (7-8 tahun yang lalu), hatiku seolah berkata bahwa ia akan menjadi bagian penting dalam cerita hidupku nanti. Ia hadir bagaikan rembulan yang menyinari hatiku, si malam yang sepi.

Sejak percakapan dari hati ke hati kami yang pertama kali, dulu (6-7 tahun yang lalu), aku mendambanya, kusemayamkan namanya dihatiku walau diam diam tanpa ia tahu. Karena aku sendiri masih meragu mungkinkah ia mau berpijak dibumi yang berdebu?

Seiring kedekatan kami dulu (5-6 tahun yang lalu), semakin tak kuasa bagiku menahan gejolak perasaan dihati yang kurasa semakin lama justru kian menjadi.

Seiring waktu berjalan (4-5 tahun yang lalu), inginku untuk menyampaikan perasaan ini semakin kuat. Semakin mendalam. Namun bibirku tak mampu berkata. Karena akhirnya tersadar aku mengharap kasih yang tak sampai.

Dan sampai saat ini (sejak 3 tahun yang lalu), ia masih kukenang sebagai satu satunya rembulan yg pernah hadir, menyinari malam di hati bumi yang berdebu sepi..”

Peluk

Hujan mendadak turun dengan sangat deras. Sebelumnya awan gelap tampak menggelayut, seolah memeluk cakrawala. Sesekali aku tatap lewat jendela, dan selalu saja perasaan tidak enak itu hadir. Entah tentang apa dan kenapa. Firasatkah?

Tiba tiba suara ketukan terdengar membuyarkan lamunanku. Aku raih gagang pintu dan kubuka perlahan. Ia tampak menggigil, dengan pakaian dan badan yg basah. Tapi bukan itu saja, tampak linangan air mata mengalir disana. Oh Tuhan, apa lagi yang terjadi padanya?

Ia memelukku erat seketika sambil menangis tersedu. Aku yang cukup kaget hanya bisa memeluknya balik saat itu.

“Kenapa dia ga jujur sama gw? Apa susahnya jujur? Apa susahnya?”
Ucapnya terbata.

“Sst.. Sabar ya… Sabar..” Hiburku sambil mengajaknya masuk. Aku ajak ia duduk di tepian tempat tidurku.
“Aku ambilkan handuk sebentar ya…” Ucapku lirih.
Segera aku ambil handuk, serta pakaian ganti untuknya. Sembari sejenak menunggu ia mengganti pakaian, tak lupa aku siapkan segelas teh hangat.

“kamu kenapa lagi? ribut lagi sama dia?” Tanyaku.
Ia hanya menggeleng pelan.
“Gw ga ribut kok. Gw cuma mau perhatiin dia. Pertama karena gw tahu dia lagi sakit. Kedua karena gw tahu diminggu ini ia akan berulangtahun. Tapi yg gw dapet apa? sosial media gw dia block. Jawab pesan seperlunya. Dibacapun kadang sudah terlambat. Dan yg terakhir, sorry gw ga bisa cerita detailnya, tapi dia juga udah ga jujur sama gw.”

“Apa salah gw sampai gw diperlakuin kayak gini? Kalau mau udahan ya udah ngomong, ga usah pakai cara nyakitin kayak gini. Dia yg ngajak gw buat komitmen, tapi dia sendiri yg ga komitmen. Gw harus gimana lagi sekarang coba?” Jawabnya emosional.

“Gw ga tahu lagi harus gimana hadepin sikapnya. Dan kayaknya gw udah nyerah sama perasaan. Sama cinta. Gw ngerasa cinta ga pernah satu garis takdir sama gw.” Tandasnya.

“Hey, kamu ga boleh bilang begitu. Aku tahu ini sulit buat kamu. Tapi aku percaya, kamu akan bisa bahagia dengan orang yg tepat nanti. Dengan orang yg layak kamu cintai karena dia juga sama mencintainya kayak kamu. Dan aku juga akan selalu dukung kamu ya, jangan pernah putus asa..” Ujarku mencoba menenangkan.

“Akan selalu ada masa masa dimana kamu merasa kalau kamu sudah menemukan pasangan hati yg tepat. Tapi beriring waktu berjalan, kamu justru tersadar bahwa kamu dengan dia semakin berlawanan arah. Padahal kamu merasa sudah melakukan berbagai cara untuk bertahan atau mempertahankan. Tapi akhirnya, kamu sendiri yg menyadari bahwa selama ini ternyata kamu bertahan lebih karena ketakutanmu akan sepi. Akan kehilangan. Benar ga?”

“Sudahlah.. Jangan lagi menghabiskan waktumu untuk dia yg memang tak mau juga menghabiskan waktunya untukmu. Masih banyak diluar sana yg layak kamu perhatikan, mau kamu perhatikan dan sebaliknya mau memperhatikanmu juga. Sesakit apapun rasanya saat ini, at least, kamu tahu dari sekarang. Daripada kamu tahunya nanti?” Ujarku.

Ia hanya diam. Entah menyimak atau tidak. Butir air mata tampak masih mengambang disudut matanya. Direbahkannya badan menyamping. “Gw numpang tidur sini ya, malam ini saja…” Lirihnya.

Keping 1

“Sampai sekarang, aku masih mutusin ga akan milih siapa-siapa. Kayaknya aku masih lebih baik sendiri sekarang, dan aku juga ga mau sakit lagi.” Itulah barisan kalimat yang ditandai dengan stabilo warna hijau dinovel yang aku pinjam darinya kemarin lusa. ‘Apa itu termasuk salah satu alasan kenapa ia tak pernah bercerita secara terang soal kisah cintanya padaku?’ Dugaku dalam hati.

Selang beberapa minggu ini, ia memang kembali diam. Bahkan cenderung kembali ke kebiasannya yang lama. Jarang keluar kamar, dan hanya sesekali bercakap singkat. Itupun kalau berpapasan saat akan berangkat kerja. Selebihnya ia hanya asyik dikamarnya.
Adapun kemarin lusa, aku iseng main ke kamarnya, basa basi pinjam buku bacaan, padahal sebenarnya aku ingin tahu kondisi dia sekarang. Kondisi hatinya tepatnya.

Aku juga heran kenapa aku bisa begitu peduli padanya. Kalau ada yang bertanya kenapa, aku mungkin ga bisa kasih jawaban pasti. Tapi kalau aku runut dari awal pertama kali bertemu, mungkin aku bisa mewakilkan jawabanku atas hal itu.

‘Raut wajah yang terkesan sendu dengan sorot mata yang seperti lilin tertiup angin kecil. Goyah menyala menerangi lorong ke hatinya yang tampak sepi.’

Itulah yang aku lihat. Dan sejak itu, aku seolah terdorong untuk mengenalnya lebih dekat.

Mengenalnya tak seperti aku berkenalan dengan teman baru dikantor atau bahkan dengan teman serumah yang lain. Mengenalnya ibarat aku harus menyusun keping keping puzzle yang aku dapat secara acak. Hanya bisa meraba, berusaha membaca harus dimana meletakannya.

Terkadang aku menyerah loh, dan ga mau peduli. Tapi, setiap kali niatan mundur itu hadir, ketika aku kembali beradu mata dengannya, keinginan menyerah itu kembali hilang. Seolah terlahir kembali menjadi kemauan untuk tetap mengenalnya lebih dekat.

Sejauh ini, moment paling dekatku dengannya adalah saat ia tiba tiba menangis pilu dikamarku bulan lalu. Yang kalau aku boleh menebak, itu karena ia ditinggal oleh sahabat terdekatnya yang terakhir. Sejak itu selesai, ia kembali tenggelam dalam rutinitas. Dan bahkan tak pernah muncul lagi di depan kamar.

Pamit

Tubuh yang saling bersandar namun ke arah mata angin yang berbeda.
Kau memilih menunggu datangnya malam, disaat aku memilih menanti terbit fajar.

Sudah aku coba berbagai cara agar kita bisa tetap bersama. Tapi yang tersisa dari kisah ini memang hanya aku yang takut kau hilang.

Perdebatan apapun diantara kita, berakhir sama menuju kata pisah.
Dan kau selalu berujar:
“Jangan paksakan genggamanmu.
Izinkan aku pergi. Karena yang berubah hanya kenyataan kalau aku tak lagi milikmu.”

Tapi saat aku bertanya :
“Apakah aku masih bisa melihatmu?
Apakah kau masih bisa kupercaya untuk tetap menjadi teman baikku?”

Kau hanya diam tanpa kata…..