​”Soko ni Sora ga Aru Kara”

Perasaan sepi itu hadir kembali dihatinya. Lebih dalam. Membawa serta sesak, serta kesedihan atas kehilangan, atas ketertinggalan. Tak banyak kata yang bisa ia ucap, karena sesak yang menahun bersemayam didadanya terlalu berat untuk bisa ia angkat. Bahkan air mata seolah mengering untuk sekedar mewakili segenap luka dan duka dihatinya. 
Beberapa pertanyaan masih belum menemukan jawabnya hingga sekarang. Meski sudah sekian tahun berlalu. 
Sementara itu, cermin dirinya semakin tak sanggup ia tatap. 

Aku adalah layaknya jalanan yang terkapar

Bermarkas tak lagi berharap pada asa tatapmu

Ini tentang manusia lemah yang selalu bungkam 

pada penyerbuan tanya kedua orang terkasihmu

Tidak ada celah tentang akhir pilihanmu kasih

Akulah yang menyebabkanmu menjadi yang tak kau pliih

Relakan aku dan lepaskan aku dan janji murahku

Teguhlah kini bersamanya yang begitu agung mengkhitbahmu

“Karena cinta bukan tentang siapa yang telah ada, melainkan tentang siapa yang telah siap

Aku sepenuhnya kalah olehnya, olehnya yang tak kalah olehku..”

Antar Anak Hari Pertama Sekolah, Hal Baru atau Hal yang Ter-Baru-kan?

Beberapa hari ini, terutama hari ini, Senin 18 Juli 2016, mungkin jadi hari paling ramai di sekolah. Bagaimana tidak, gerakan antar anak di hari pertama sekolah sedang ramai dibicarakan. Terbukti beberapa ibu ibu, teman saya dikantor, heboh memasang status “antar hari anak pertama sekolah”. Loh bukankah dari dulu memang sudah begitu? Atau fenomena ini hanya terjadi di kota kecil atau desa?

Saya masih ingat sekali hari pertama saya mau masuk SD. Saat itu, saya memakai pakaian serba baru. Tas warna merah, buku tulis okky, seragam lengkap dengan topi dan dasi, serta tak lupa sepatu ATT yang bisa menyala. 

Mamah pun tak kalah dengan saya. Memakai pakaian rapih selayaknya mau ambil rapor. Hehee.. Mamah menemani saya di hari pertama masuk SD, tujuannya sederhana, memastikan saya nyaman dikelas, dan dapat duduk dibangku paling depan. Itulah yang selalu Mamah katakan.

Beliau mengawasi saya setengah hari penuh, sampai menjelang waktu istirahat pertama loh. Dan tidak hanya saya, semua anak anak yang masuk rata rata diantar oleh orang tua mereka. Dan kegiatan mengantar hari pertama sekolah ini, bukan hanya saat saya mau masuk SD, tapi juga SMP. 

Dari sisi psikologis, ada hal positif yang saya pribadi rasakan, diantaranya: (1) Saya merasa aman ke sekolah. Mengingat katanya anak anak senior kadang suka jahat loh sama anak kelas satu. Biasanya orang tua tak hanya sekedar mengantar anak, tapi rata rata mereka juga menitipkan langsung kepada Guru wali kelas untuk berkenan mendidik dan mengawasi. Memang sudah kewajiban dari tiap Guru, tapi dengan komunikasi langsung seperti ini, anak bisa merasakan bahwa Guru sudah menjadi orang tua kedua bagi mereka. Jadi tak perlu ada hal yang ditakutkan. 

(2). Motivasi belajar meningkat. Kehadiran orang tua tentu menjadi bola semangat tersendiri bagi setiap anak. Kehadiran mereka membuat saya pribadi dulu ingin belajar dan menjadi yang terbaik (juara kelas). Biasanya, di hari pertama sekolah selain perkenalan, kita akan diminta membuat angka 0 (nol) sekian baris dan bagi yang cepat selesai, dia cepat pulang. Itulah contoh sederhananya.

(3). Bagi orang tua, mereka juga bisa mengenal lingkungan sekolah lebih dekat, tak hanya sekedar kata orang sekolah ini bagus loh, guru guru-nya oke. Tapi dengan datang langsung, mereka bisa melihat dan merasakan atmosfer sekolah tempat anak mereka. Dan juga bisa langsung berinteraksi dengan para Guru untuk sekedar ‘menitipkan’ buah hatinya. 

Jadi, ketika hal ini menjadi topik hangat, buat saya yang mengalaminya dulu, bukanlah sesuati yang baru. Atau, mungkinkah hal ini di ter-baru-kan? Dan apakah pendidikan anak tak lagi penting buat orang tua? Rasanya tidak juga. Karena saya yakin tak ada orang tua yang tak mau melihat anaknya menjejakkan kaki pertamanya di sekolah tanpa didampingi oleh mereka. πŸ™‚

Mendung

​”Den, apakah boleh aku memilih tidak menanam padi disawah karena sadar aku masih belum bisa menghilangkan rumput liar dihalamanku sendiri?” 

Sebuah tanya meluncur dari bibirnya sore ini. Kami sedang duduk diteras atas, menikmati teh hangat yang aku sengaja buat. Diluar hujan turun cukup deras sore ini. Beberapa penghuni kost lain lebih memilih asyik terlelap menanti magrib. 
“Kenapa kamu tiba tiba bertanya seperti itu? Apa ada hubungannya dengan kepulangan kamu kemarin?” Aku balik tanya. 

“Iya den.. Seperti itulah.. Sekarang, bagaimana menurutmu? Jujur, aku memilih diam kemarin. Tak berani menjawab, tak berani meng-iyakan atau menolak.” Ujarnya. 

“Aku juga bingung mau jawab apa. Paling aku cuma bisa jawab, ikutilah apa yg kata hati kamu ingin lakukan. Jangan pernah melakukan sesuatu karena terpaksa dan ingin menyenangkan hati siapapun. Karena aku khawatir bukan senang yang akan kamu beri, tapi duka dan luka yg kan didapat dikemudian hari. 

Apapun nanti pilihan yg kamu ambil, lakukan dengan benar, dengan konsisten. Jangan setengah setengah. Sekiranya kamu butuh waktu untuk mempersiapkan, bilang saja sama mereka memang itu adanya. Bahwa bukan masalah cepat atau lambat tapi tepat atau tidak. Dan aku yakin, Tuhan selalu memberikan restuNya untuk setiap niat baik hingga ia mewujud di waktu yg tepat.” Jawabku. 

Ia hanya menatap ke depan mendengar jawabanku barusan. Aku sendiri, mencerna ulang jawabanku barusan. Selayaknya bercermin. 

Dan tiba tiba suara deras air hujan yang turun serta dingin udara sore yg menyergap terasa bagai alunan irama yg menyembilu jauh kedalam lubuk hatiku sendiri.

Kapan Nikah?

Kapan nikah? Aku pikir pertanyaan ini akan absen di lebaran tahun ini, meski dengan peluang yang sangat kecil, mengingat usiaku sekarang. Dan sudah bisa ditebak, semua saudara dan tetangga yang kutemui semua bertanya: “mana calonnya? Udah ada belum? Kok ga dibawa? Kapan nikah? Ingat sama umur ah, malu sama teman teman seangkatan.”

Kalau ikutin kata hati, rasanya ingin menjawab: “sini kasih saja perempuannya biar saya nikahi. Emang nikah cuma nikah doank terus selesai..”
Tapi aku cuma bisa senyum dan berkata: “iya insya allah, doakan saja..”
Rasanya lepas dari silaturahim adalah situasi melegakan, mengingat aku tak perlu lagi memasang senyum manis terpaksa saat ada yang bertanya soal nikah.

Namun, tahun ini berbeda. Selepas kemarin Mamah tanya dan ngobrol soal nikah h-1 lebaran, sekarang giliran h+1 lebaran beliau menekankan lagi soal Nikah.

Mamah: Aa, tahun depan pokoknya aa harus nikah. Terserah mau sama siapa saja pilihan Aa. Malu Aa sama teman teman satu angkatan, mumpung mamah sama bapak juga masih sehat. Memang aa ga suka perempuan? Tegas mamah.

Mendengar itu saya tak berani menjawab. Jujur, hanya menunduk dengan mata berkaca, perih tanpa sebab. Dan akhirnya diam menjadi jawaban yang aku pilih.

“Duh Mamah, sungguh menikah adalah hal yang sangat ingin Aa lakukan. Tapi Mah, sampai hari ini Aa belum bertemu dengan wanita yang cocok di hati. Terlebih kondisi Aa juga masih dalam fase memantapkan hati, memantapkan diri untuk keinginan menikah ini.

Mah, bukan pula Aa tak suka perempuan. Aa suka sekali. Tapi Mah, ijinkan Aa bercerita sejenak tentang apa yang Aa hadapi selama ini.
– waktu SD mungkin mamah ingat Aa kan pernah suka sama teman sekelas Aa, tapi apadaya Mah, sebutan bencong / banci membuat Aa tak berani bercanda apalagi menggoda seperti yg anak lain suka lakukan.
– waktu SMP, aa juga pernah suka sama seseorang tapi Mah, berhubung Aa ga berada, ga jago olahraga, dan sebutan banci yang masih melekat, aa ditolak sama dia. Bahkan lewat perantaraan orang lain.
– waktu SMA, aa juga kembali suka sama seorang gadis remaja, tapi apa daya, lagi lagi keterbatasan Aa di bidang olahraga dan keahlian layaknya remaja laki laki lain membuat aa kembali ditolak.
– waktu Kuliah, aa juga jatuh cinta sama 2 orang wanita, yang satu memilih menikah dengan orang lain pilihan orangtuanya sedang yang satu ternyata tak pernah mengganggap Aa.

Mah, semua rangkaian peristiwa itu begitu melekat. Membuat aa pribadi menjadi tidak percaya diri setiap berhadapan dengan seorang wanita. Aa takut menghadapi cibiran merendahkan seperti yg dulu aa terima.

Mah, mungkin aa terlalu cengeng sebagai seorang laki laki, tapi aa yakin, Mamah sebagai Mamah aa mungkin akan sedikit mengerti rasanya, meski aa juga ga bisa menjamin itu. ”

Begitulah jawabku dalam hati. Pernyataan yang mengalir begitu saja dalam hati sebagai jawaban pertanyaan Mamah, sambil memilih bersimpuh memohon kepada Dia Sang Maha Perencana. Sang Maha Cinta.

Sayonara Love

Pagi menjelang. Gema takbir riuh berkumandang dari seluruh pelosok langgar atau mushola dikampungku. Mamah tampak asyik menata makanan di meja. Adek juga sudah bangun dan sedang menyapu. Sementara bapak sedang duduk manis menghangatkan badan di tungku perapian.

Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Entah sudah jadi kebiasaan atau memang malas, tapi setiap kepulanganku ke rumah selalu didominasi dengan tidur dan tidur. Kulirik handphone ku yang kutaruh disisi bantal, tampak kerlap kerlip merah. Wah.. Pasti rangkaian ucapan idul fitri niy, tebakku.

Bergegas aku pergi mandi, bersiap untuk shalat ied di masjid raya. Mengenakan kemeja takwa warna biru gelap, sarung dan peci bermotif warna senja aku berangkat. Handphone sengaja tak kubawa karena aku yakin penduduk disini tidak terbiasa dan takkan mengizinkan ada ponsel aktif didalam masjid saat khutbah.

Pelaksanaan shalat ied berlangsung khidmat. Banyak wajah wajah lama dan baru yang datang meramai penuh sesakkan. Singkat cerita, selesai halal bihalal ke saudara dan tetangga, akhirnya aku bisa check handphone yang sedari pagi belum aku lihat. Serangkaian pesan masuk, berikut juga broadcast dan beberapa notifikasi di fb, twitter dan path.

Setelah dicheck satu persatu, mataku tertuju pada sejumlah pesan yang berasal darinya. Feelingku sudah tidak enak memang dari kemarin, mengingat curhatan dia sebelumnya.

Dia: den, kamu tahu nggak, dia tiba tiba block WA aku di kedua nomor handphonenya. Salah aku apa deni??? Aku kan selama ini ga pernah berlebihan kalau tanya. Dia bilang lagi operasi, lagi antar mamahnya, lagi liat tv dsb, aku ga pernah tanya sama siapa? Bener? Ga bohong? Ga pernah kan den??

Dia: Kamu tahu sendiri aku kayak gimana. Kalaupun aku kemarin tanya soal status status dia di FB, aku ga bermaksud mata matain kok. Aku cuma mau tahu dia jujur atau nggak. Dan ternyata dia ga jujur sama aku.

Dia: aku juga ga cecer dia dengan bilang: kenapa bohong? Apa alasannya? Nggak den. Aku ga gitu. Aku cuma bilang: kabarin ya kalau sudah sampai jogja dan hati hati di kereta. Salah den aku bilang gitu???

Demi menyimak serangkaian pesan diatas, aku seperti biasa hanya menarik nafas panjang. Oh kawan, sampai kapan kau terbebas dari derita cinta, begitu gumamku.

Aku: sorry baru balas. Tadi habis muter muter salaman. kamu kenapa masih mikirin dia si? Ini kan momen lebaran, sudah jangan dipikirkan, nikmati saja momen kamu sama keluarga dirumah. Aku turut berduka ya sama masalah yang kamu hadapi sekarang. Kan aku sudah pernah bilang dari dulu, jangan pernah pakai sepenuh hati sama orang yang kamu sendiri ga gitu yakin. Apalagi kalian LDR.

Aku: cinta itu adalah kejujuran rasa dari hati yang termanifestasi dalam ucapan dan sikap yang sesuai dan selaras satu sama lain. Bila ucapan dan sikap itu berbeda, maka bisa dipastikan itu bukanlah cinta. Sekarang, kamu tinggal runut, dari awal sampai hari ini, lebih banyak yang selaras atau tidak?

Aku: pun jika ternyata ia memilih pergi, jangan pernah melarang. Karena cinta akan bertahan dan menahankan diri kalau memang ia ingin bersemayam. Buat apa menyimpan telur buaya di kandang ayam? Toh begitu ia dewasa, justru ayam tersebut yang akan ia makan.

“Lepaskanlah kalau memang ia ingin lepas. Bebaskanlah kalau kamu merasa tersiksa. Kenyataan boleh pahit, tapi sekiranya pahit itu adalah awal dari manis yang akan kamu dapat?”

Berbahagialah…”

Aku mencintainya dengan hati, tapi ia hanya mencintaiku sebatas ucapan.

Aku meluangkan waktu disela kesibukanku untuk memperhatikannya, tapi ia memperhatikanku hanya dikala lengang.

Aku bercerita tentang hariku padanya, tapi ia hanya bercerita kala kutanya. Selebihnya ia memilih membagi itu semua kepada orang lain.

Untukmu yang ada disana,

Aku paham betul tugas dan kewajibanmu sehari hari. Tapi aku punya pertanyaan untukmu:

“Bukankah tugas seorang dokter untuk sebisa mungkin mengobati? Tapi kenapa melukai yang kau lakukan padaku?”
“Bukankah sudah tugas seorang dokter memberikan resep yang tepat kepada pasiennya? Tapi kenapa hanya kebohongan yg menutupi kebohongan yang lain yang sering kau ucapkan?”

Aku selama ini telah buta karena bertahan pada orang yang salah. Tapi malam ini, ijinkan aku mengucap salam perpisahan. Berbahagialah dengan siapapun disana yang mampu menemanimu berlibur setiap saat, yang mampu memberikan perhatiannya padamu setiap saat. Berbahagialah.. Berbahagialah…

Jodohku?

Siang ini ceritanya melanjutkan membuat kue bolu sama mamah. Berhubung malam sebelumnya kue nya sempat gagal karena tebal loyang dan apinya yang kurang besar. Seperti biasa, aku kebagian bertugas membuat adonan. Saat lagi asyik mengaduk adonan tiba tiba:

image

Mamah: kalau sudah ada yang cocok, segerakan. Mumpung mamah sama bapak masih sehat. Abah juga masih ada. Ngapain ditunda-tunda. Malu sama junior junior kamu yang sudah berkeluarga. Nanti dikira kamu ga laku lah. Kalau ditunda tunda nanti malah malas. Lagian nanti kamu pusing sendiri kalau Mamah sama bapa sudah ga ada. Jangan khawatir soal rezeki. Cari istri yang mau nerima kamu, keadaan kamu. Mau teman kerja juga masalah mamah mah. Kalau masalah rumah, terserah mau bangun di tempat abah atau disini.

Aku: (nunduk sambil tetep ngaduk adonan)

Mamah: Nyimak ga Mamah ngomongnya Aa?

Aku: (masih nunduk ngaduk adonan) Nyimak Mah,.

Dalam hati : Mah, bukannya aa mau menunda nunda menikah. Tapi memang sampai hari ini aa belum bertemu. Pun Aa juga masih ngumpulin kesiapan hati untuk memutuskan ke jenjang selanjutnya. Mungkin telat, tapi mau bagaimana. Mungkin Aa juga terlalu banyak mikir ini itu, tapi itu karena Aa ga mau ngecewain siapapun. 

Mengutip apa yang dituliskan oleh Tere Liye : “Pembuka kunci jodoh terbesar buat kalian adalah: Selalu berbuat baik, dan jadikan akhlak yg baik terpancar merekah di sekitar kalian. Maka insya Allah, seperti petromaks yg diletakkan di tengah-tengah sawah, kalian akan amat menarik perhatian serangga.”

Masih Dalam hati: Ya Alloh, tunjukanlah dan bukakanlah pintu jodoh buat hamba sebagaimana harapan kedua orang tua hamba. Perkenankanlah dan jodohkanlah hamba karena jalan kebaikan dengan ia yang mau menerima hamba seperti adanya, yang sayang sama kedua orang tua dan keluarga hamba. Dan Ya Alloh, jadikanlah pernikahan yang kelak hamba lakukan sebagai jalan amal kebaikan untuk hamba menjadi pribadi yg lebih baik di dunia untuk mendapatkan ridhoMu di akhirat nanti. Aamiinn Ya Rabb…

Aku: Iya Mah, oh ya, ini adonannya sudah kalis, mau Mamah atau Aa yang masukin oven?
P.s : Dan ternyata, obrolan soal jodoh dan nikah ini cukup mampu meningkatkan daya konsentrasi saya sehingga adonan pun kalis sempurna. #Apasih

Jujur

Pagi pagi sekali serangkain pesan hadir di whatsapp ku. Wah ada apa gerangan niy, tanyaku dalam hati. Aku lihat siapa siapa pengirimnya, dia lagi ternyata. Aku hanya bisa menggeleng pelan, lalu beranjak mencuci muka sebentar sebelum membaca dan membalas bom pesan darinya pagi ini.

[7/5, 08:13] : Den, aq sdh tidak tahan
[7/5, 08:13] : Dia bohong terus
[7/5, 08:13] : Trnyata di ke jogja
[7/5, 08:13] : Tuh update status naik kereta
[7/5, 08:13] : Pdhl bilangnya mau ke bali
[7/5, 08:14] : Brngkt sore naik pesawat
[7/5, 08:18] : Aq mau udahan saja Den,
[7/5, 08:38] : Den, jangan komentar dulu
[7/5, 08:38] : Aq sdh bilang blak blakan sama dia
[7/5, 08:38] : Aq bilang gini:
[7/5, 08:39] : “Selamat berlibur ya.. Hati hati di kereta.. Dan kabarin sj kalau sampai ke jogja..”
[7/5, 08:39] : Terserah kalau dia mau komentar apa
[7/5, 08:39] : Km tahu kan sy paling tidak suka dibohongin. Kamu boleh komentar sekarang.. Aku sebal den..

Itulah serangkain pesannya pagi ini. Bisa kubayangkan ekspresi wajahnya saat ia menuliskan pesan pesan ini. Pasti pipinya merona merah, bukan karena malu tapi menahan marah.

Aku diam sejenak seperti biasa sebelum membalas pesannya. Bagiku kisahnya bukan kisah biasa. Mungkin tema nya sama dengan cerita cinta lainnya, tapi karena emosi yang ia hadirkanlah yang membedakan ini semua.

“Kata seorang penulis: kejujuran itu memang pedih adanya tapi mungkin itu memang jawaban yang harus kamu dapat. Kebanyakan, orang orang yang sedang jatuh cinta menutup mata dari kejujuran realita yang ada dihadapan. Berharap akan ada keajaiban yang mampu mengubah itu semua. Kalau satu kali dusta, mungkin masih dimaklumi. Tapi kalau sudah sekian dusta hadir, apa kamu masih mau menyebut itu cinta?

Sebagai sahabatmu, aku cuma mau bilang: Jangan pernah kamu sekali kali bertahan dengan seseorang hanya karena kamu merasa takut sendirian. Bertahanlah untuk orang yang mau mempertahankanmu. Cirinya sederhana, kejujuran dan kenyamanan. Bukan dusta dan rasa was was. Sekarang, hubunganmu dengan dia termasuk yang mana? Kamu sendiri yang bisa menilai dan putuskan.”

Jawabku panjang lebar. Belum ada tanda dibaca olehnya. Namun pagi ini, aku yakin sekali sepotong hati akan ada yang hilang, lalu menunggu hadirnya sepotong hati yang baru meski entah kapan..”

Memeluk Ingatan

Rasanya benar bahwa momen lebaran itu adalah momen kita bertemu. Bukan hanya dengan orang orang, tapi juga dengan ingatan. Ya.. Momen pulang kampung bagiku adalah momen aku reuni dengan segenap ingatan ingatanku. Masa kecil, masa anak anak, masa remaja. Semua berkumpul, berebut masuk, ingin ditelusur dan dikenang satu demi satu.

Adakah mudah? Tidak kawan, setidaknya itulah yang aku rasakan. Entahlah, tapi setiap keping kenangan seolah pisau bermata dua. Satu menorehkan rupa bahagia, dan yang satu menorehkan luka. Mengiris pelan.

Mungkin dualisme rasa itu hadir karena aku belum bisa berdamai sepenuhnya dengan diriku sendiri. Menahun kawan aku mencoba untuk itu, tapi aku masih belum bisa. Benar adanya, perjalanan pulang sebenarnya ke dalam diri jauh lebih sulit dari perjalanan fisik sejauh apapun. Dan itu nyata adanya…