Arti Sahabat [Chapter 1]

​’Hai, apa kabar? Bagaimana Jakarta? Sudah mulai hujan?’

Itulah isi pesan singkat yang tiba tiba masuk ke ponselku sore tadi. Pesan dari seseorang yg tak bernama. Namun, setelah melihat semua baris angka yang tertera, aku tahu dari siapa pesan itu datang. 
‘Baik, seperti biasa. Kamu sendiri?  Bagaimana Tokyo? Sedang musim apa disana?’Jawabku singkat juga. 

Cukup lama aku menunggu hingga nada pesan kembali terdengar. Segera aku buka. Masih dari dia. 

‘Saya baik. Sedang musim panas disini.’ Balasnya singkat pula. ‘Boleh saya telepon lewat WA/Skype?’ Pesan berikutnya masuk. 

‘Silakan. Telepon saja.’ Ujarku. 

Tak lama dering panggilan terdengar. Sesaat aku ragu untuk menekan ‘ya’, tapi sudah terlanjur. 

‘Hai deny. Ini saya.’ Ujarnya. 

‘Iya.. Ada apa?’ Tanyaku. 

‘Ga ada apa apa si. Cuma pengen ngobrol saja sama kamu. Sudah lama rasanya kita tidak bicara.’ Ujarnya lagi dengan penekanan di ujung kalimat. 
‘Aku ga kemana mana kok. Ada. Kan kamu yang ngilang. Menghindar si tepatnya.’ Jawabku sinis. 
‘Kok langsung galak gitu si den. Jangan marah dulu dunk.. Please..’ Kudengar ia merajuk. 

‘Saya ga marah. Cuma bicara fakta. Bertahun tahun saya tunggu kabar dari kamu, tapi sama sekali ga ada. Apa susahnya si say ‘hi’ barang sebentar? Sementara balas komentar orang di fb kamu rajin banget. Dari yg penting sampai yg ga penting.’ Jawabku sengit. 

‘Sorry den, aku ga ada maksud begitu. Aku ga bermaksud menghindar. Aku cuma takut..’ Jawabnya menggantung. 

‘Kamu takut apa? Kamu takut sama saya? Atau mungkin sebenarnya bukan takut kali ya, tapi malu. Kamu malu kan punya teman seperti saya. Ga papa kamu jujur aja, saya ga masalah. Toh ini juga bukan yg pertama kalinya saya alami.’ Tegasku. 

‘Den, kok ngomong gitu. Aku telepon kamu beneran karena aku pengen ngobrol sama kamu. Kayak dulu.’ Ujarnya dengan nada parau.

‘Pengen ngobrol? Kamu kemana aja pas aku masuk rumah sakit karena ketergantungan obat? Kamu kemana pas aku lagi down karena sendirian ngadepin itu semua? Aku tanya, kamu kemana? Kita, temenan loh di media sosial. Dan aku udah berusaha, berusaha banget, buat kasih clue ke kamu, kalau aku lagi ga baik baik aja saat itu. Tapi kamu, justru sibuk update status dan  balesin semua komen atau puja puji teman teman kamu.’ Sengitku. 

‘Kamu masuk RS? Kapan?’ Tanyanya. 

‘Kapan? Jadi selama ini kamu memang benar benar ngehindarin aku yah.. Pantes.. Aku salah apa sama kamu? Sampai kamu segitunya sama aku. Kamu tanya kapan aku masuk RS? Aku kirim pesan ke kamu. Aku sms, aku DM kamu di FB, dan twitter. Aku tulis dan aku bilang, ‘please tolongin aku.. Aku takut..’, kamu ga baca?? Keterlaluan kamu yah!!!’ Jawabku sekaligus menutup sambungan telepon.

Melihat Negeri Lebih Dekat di “Indonesia Through My Eyes” Photo Exhibition

Tepat hari ini, negeri kita tercinta merayakan dirgahayunya yang ke-71. Rasanya tidak terasa, ya, sudah hampir mau 30 tahun saya tumbuh besar di negeri pertiwi. Untuk menyemarakkan semangat kemerdekaan RI, awalnya saya memutuskan dan berencana untuk meliput ragam acara yang biasa diselenggarakan warga sekitar ibukota. 

Niat awal adalah meliput kegiatan warga di lapangan Monas, mengingat tahun lalu sempat diadakan festival atau karnaval disana. Sebelum kesana, saya memutuskan mampir ke Plaza Indonesia, niatnya untuk sekedar mampir ke boot ‘I Love Indonesia’ dan berfoto disana. Tapi sesampainya disana, saya secara tak sengaja menemukan sebuah even epik yang bertajuk “Indonesia Through My Eyes”. 

Ini adalah sebuah pameran foto untuk umum bertemakan pesona Indonesia yang merupakan hasil karya beberapa pesohor tanah air dari berbagai latar belakang profesi seperti artis film, penyanyi, sutradara, model, disainer, sutradara dan lain sebagainya. Mereka adalah : Andien Aisyah, Anton Ismael, Chitra Subiyakto, Didiet Maulana, Edwar Hutabarat, Erwin Parengkuan, Ferry Rusli, Hakim Satriyo, Ira Lembong, Indra Leonardi, Mario Ginanjar, Nadine Chandrawinata, Nia Dinata, Raja Siregar, Raline Shah, Shanty Paredes dan Teddy Adhitya. 

Kesan pertama melihat galeri pameran ini adalah takjub, haru dan tak mau kalah. Yak, tak mau kalah untuk bisa seperti mereka yang mampu mengabadikan indahnya pesona negeri dalam lensa kamera. Dan berikut adalah beberapa foto di galeri yang sempat saya foto. 

1. Tugu Monas dan Pantai Togean karya @rajaregar. Foto hitam putih klasik tugu monas ibukota yang gagah berdampingan dengan foto jernihnya pantai Togean di Sulawesi Tengah. Keindahan terumbu karang laut yang dibatasi jernihnya air dengan hijaunya pulau, sungguh indah. 

2. Candi Borobudur dan Wayang Orang Sriwedari karya @edo_thejourney. Kemegahan Candi Borobudur yang sudah terkenal semakin apik dalam bingkai hitam putih klasik. Dan potret sepasang Wayang Orang Sriwedari dari Solo, tak kalah gagah terabadikan. 

3. Hutan Pinus Imogiri dan Puthuk Setumbu karya @ralineshah. Siapa sangka artis cantik yang sangat terkenal ini, ternyata begitu mencintai negerinya. Terbukti dari hasil jepretannya yang indah tentang hijaunya hutan pinus imogiri di Yogyakarta dan suasana matahari terbit di Puthuk Setumbu Jawa Tengah. Hawa magisnya sungguh terasa. Terbayang, suasana udara segar dikelilingi pohon pinus yang rimbun atau udara pagi berpadu sinar mentari yang mulai menampakkan diri. 

4. Kete Kesu dan Perang Pandan karya @didietmaulana. Tak kalah dengan foto sebelumnya, aura tradisi / adat begitu kuat terpancar di foto foto ini. Kete Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal dengan peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang menyerupai sampan atau perahu yang didalamnya disimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. (id.wikipedia.org). 

Sedang perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangaasem, Bali. Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri sebagai alat atau senjata untuk berperang dan tameng dari anyaman rotan. (Id.wikipedia.org)

5. Pantai Luwuk, Sulawesi Tengah karya @erwinparengkuan. Bintang laut biru yang terdampar cantik dipadu dengan birunya pantai yang terbingkai apik dari atas padang ilalang. Sungguh, pesona negeri yang takkan bisa kita lupa dan pastinya menarik minat untuk didatangi secara langsung. 

6. Pulau Kalong dan Pulau Kelor, Flores karya @irradica_l. Indahnya senja matahari terbenam terpotret manis dari pulau kalong berpadu apik dengan jernihnya air pantai pulau kelor. Tentu dua pengalaman yang sangat menarik untuk bisa kita jajal sendiri nanti. 

7. Sumba Timur, NTT karya @antonismael_ . Suasana hangat mentari dan kontur perbukitan serta padang ilalang yang nampak sejauh mata memandang begitu terpancar saat melihat foto ini. Sungguh indah. 

8. Rumah Gadang dan Keluarga Kecil di Suroba, Papua karya @chitras. Potret keluarga kecil di Suroba, Papua begitu sederhana terbingkai. Jujur, apa adanya. Sedang kegagahan tetap terpancar dari foto Rumah Gadang disebelahnya. Mengingatkan saya akan rumah sejujurnya. Bahwa memang tak ada tempat yang lebih nyaman selain keluarga dan rumah sendiri. Begitu pula negeri ini. Rumah besar yang begitu nyaman dan harus kita jaga agar tetap aman. 

Itulah sekelumit momen berharga saya mengisi waktu luang memperingati HUT RI ke-71. Memerdekkan mata saya, membukakan hati bahwa negeri ini sangat indah dari ujung barat sampai timur. Dan keindahan ini harus bisa kita lestarikan agar bisa dinikmati oleh anak cucu kita kelak. 

Lelaki

​Laki laki lama datang menghadap Walimu bukan karena tak butuh, bukan karena tak berani, bukan pula karena ia tak yakin pada janji Alloh. Sebagai Lelaki, sebenarnya gejolak ingin menikahnya lebih besar daripada gejolakmu. Namun Lelaki adalah makhluk yang realistis. Ia tak ingin menghadap Walimu dalam keadaan serba pas. Ketahuilah bahwa ia memiliki 3 tanggungan: 

1. Dirinya 

2. Orangtuanya 

3. Saudara perempuan yang belum menikah. 

Sekarang, jika engkau ingin ia segera datang, maka berikanlah isyarat kepadanya bahwa engkau dan Walimu menerima dirinya apa adanya..” #NasihatKawan

​”Soko ni Sora ga Aru Kara”

Perasaan sepi itu hadir kembali dihatinya. Lebih dalam. Membawa serta sesak, serta kesedihan atas kehilangan, atas ketertinggalan. Tak banyak kata yang bisa ia ucap, karena sesak yang menahun bersemayam didadanya terlalu berat untuk bisa ia angkat. Bahkan air mata seolah mengering untuk sekedar mewakili segenap luka dan duka dihatinya. 
Beberapa pertanyaan masih belum menemukan jawabnya hingga sekarang. Meski sudah sekian tahun berlalu. 
Sementara itu, cermin dirinya semakin tak sanggup ia tatap. 

Aku adalah layaknya jalanan yang terkapar

Bermarkas tak lagi berharap pada asa tatapmu

Ini tentang manusia lemah yang selalu bungkam 

pada penyerbuan tanya kedua orang terkasihmu

Tidak ada celah tentang akhir pilihanmu kasih

Akulah yang menyebabkanmu menjadi yang tak kau pliih

Relakan aku dan lepaskan aku dan janji murahku

Teguhlah kini bersamanya yang begitu agung mengkhitbahmu

“Karena cinta bukan tentang siapa yang telah ada, melainkan tentang siapa yang telah siap

Aku sepenuhnya kalah olehnya, olehnya yang tak kalah olehku..”

Antar Anak Hari Pertama Sekolah, Hal Baru atau Hal yang Ter-Baru-kan?

Beberapa hari ini, terutama hari ini, Senin 18 Juli 2016, mungkin jadi hari paling ramai di sekolah. Bagaimana tidak, gerakan antar anak di hari pertama sekolah sedang ramai dibicarakan. Terbukti beberapa ibu ibu, teman saya dikantor, heboh memasang status “antar hari anak pertama sekolah”. Loh bukankah dari dulu memang sudah begitu? Atau fenomena ini hanya terjadi di kota kecil atau desa?

Saya masih ingat sekali hari pertama saya mau masuk SD. Saat itu, saya memakai pakaian serba baru. Tas warna merah, buku tulis okky, seragam lengkap dengan topi dan dasi, serta tak lupa sepatu ATT yang bisa menyala. 

Mamah pun tak kalah dengan saya. Memakai pakaian rapih selayaknya mau ambil rapor. Hehee.. Mamah menemani saya di hari pertama masuk SD, tujuannya sederhana, memastikan saya nyaman dikelas, dan dapat duduk dibangku paling depan. Itulah yang selalu Mamah katakan.

Beliau mengawasi saya setengah hari penuh, sampai menjelang waktu istirahat pertama loh. Dan tidak hanya saya, semua anak anak yang masuk rata rata diantar oleh orang tua mereka. Dan kegiatan mengantar hari pertama sekolah ini, bukan hanya saat saya mau masuk SD, tapi juga SMP. 

Dari sisi psikologis, ada hal positif yang saya pribadi rasakan, diantaranya: (1) Saya merasa aman ke sekolah. Mengingat katanya anak anak senior kadang suka jahat loh sama anak kelas satu. Biasanya orang tua tak hanya sekedar mengantar anak, tapi rata rata mereka juga menitipkan langsung kepada Guru wali kelas untuk berkenan mendidik dan mengawasi. Memang sudah kewajiban dari tiap Guru, tapi dengan komunikasi langsung seperti ini, anak bisa merasakan bahwa Guru sudah menjadi orang tua kedua bagi mereka. Jadi tak perlu ada hal yang ditakutkan. 

(2). Motivasi belajar meningkat. Kehadiran orang tua tentu menjadi bola semangat tersendiri bagi setiap anak. Kehadiran mereka membuat saya pribadi dulu ingin belajar dan menjadi yang terbaik (juara kelas). Biasanya, di hari pertama sekolah selain perkenalan, kita akan diminta membuat angka 0 (nol) sekian baris dan bagi yang cepat selesai, dia cepat pulang. Itulah contoh sederhananya.

(3). Bagi orang tua, mereka juga bisa mengenal lingkungan sekolah lebih dekat, tak hanya sekedar kata orang sekolah ini bagus loh, guru guru-nya oke. Tapi dengan datang langsung, mereka bisa melihat dan merasakan atmosfer sekolah tempat anak mereka. Dan juga bisa langsung berinteraksi dengan para Guru untuk sekedar ‘menitipkan’ buah hatinya. 

Jadi, ketika hal ini menjadi topik hangat, buat saya yang mengalaminya dulu, bukanlah sesuati yang baru. Atau, mungkinkah hal ini di ter-baru-kan? Dan apakah pendidikan anak tak lagi penting buat orang tua? Rasanya tidak juga. Karena saya yakin tak ada orang tua yang tak mau melihat anaknya menjejakkan kaki pertamanya di sekolah tanpa didampingi oleh mereka. πŸ™‚

Mendung

​”Den, apakah boleh aku memilih tidak menanam padi disawah karena sadar aku masih belum bisa menghilangkan rumput liar dihalamanku sendiri?” 

Sebuah tanya meluncur dari bibirnya sore ini. Kami sedang duduk diteras atas, menikmati teh hangat yang aku sengaja buat. Diluar hujan turun cukup deras sore ini. Beberapa penghuni kost lain lebih memilih asyik terlelap menanti magrib. 
“Kenapa kamu tiba tiba bertanya seperti itu? Apa ada hubungannya dengan kepulangan kamu kemarin?” Aku balik tanya. 

“Iya den.. Seperti itulah.. Sekarang, bagaimana menurutmu? Jujur, aku memilih diam kemarin. Tak berani menjawab, tak berani meng-iyakan atau menolak.” Ujarnya. 

“Aku juga bingung mau jawab apa. Paling aku cuma bisa jawab, ikutilah apa yg kata hati kamu ingin lakukan. Jangan pernah melakukan sesuatu karena terpaksa dan ingin menyenangkan hati siapapun. Karena aku khawatir bukan senang yang akan kamu beri, tapi duka dan luka yg kan didapat dikemudian hari. 

Apapun nanti pilihan yg kamu ambil, lakukan dengan benar, dengan konsisten. Jangan setengah setengah. Sekiranya kamu butuh waktu untuk mempersiapkan, bilang saja sama mereka memang itu adanya. Bahwa bukan masalah cepat atau lambat tapi tepat atau tidak. Dan aku yakin, Tuhan selalu memberikan restuNya untuk setiap niat baik hingga ia mewujud di waktu yg tepat.” Jawabku. 

Ia hanya menatap ke depan mendengar jawabanku barusan. Aku sendiri, mencerna ulang jawabanku barusan. Selayaknya bercermin. 

Dan tiba tiba suara deras air hujan yang turun serta dingin udara sore yg menyergap terasa bagai alunan irama yg menyembilu jauh kedalam lubuk hatiku sendiri.

Kapan Nikah?

Kapan nikah? Aku pikir pertanyaan ini akan absen di lebaran tahun ini, meski dengan peluang yang sangat kecil, mengingat usiaku sekarang. Dan sudah bisa ditebak, semua saudara dan tetangga yang kutemui semua bertanya: “mana calonnya? Udah ada belum? Kok ga dibawa? Kapan nikah? Ingat sama umur ah, malu sama teman teman seangkatan.”

Kalau ikutin kata hati, rasanya ingin menjawab: “sini kasih saja perempuannya biar saya nikahi. Emang nikah cuma nikah doank terus selesai..”
Tapi aku cuma bisa senyum dan berkata: “iya insya allah, doakan saja..”
Rasanya lepas dari silaturahim adalah situasi melegakan, mengingat aku tak perlu lagi memasang senyum manis terpaksa saat ada yang bertanya soal nikah.

Namun, tahun ini berbeda. Selepas kemarin Mamah tanya dan ngobrol soal nikah h-1 lebaran, sekarang giliran h+1 lebaran beliau menekankan lagi soal Nikah.

Mamah: Aa, tahun depan pokoknya aa harus nikah. Terserah mau sama siapa saja pilihan Aa. Malu Aa sama teman teman satu angkatan, mumpung mamah sama bapak juga masih sehat. Memang aa ga suka perempuan? Tegas mamah.

Mendengar itu saya tak berani menjawab. Jujur, hanya menunduk dengan mata berkaca, perih tanpa sebab. Dan akhirnya diam menjadi jawaban yang aku pilih.

“Duh Mamah, sungguh menikah adalah hal yang sangat ingin Aa lakukan. Tapi Mah, sampai hari ini Aa belum bertemu dengan wanita yang cocok di hati. Terlebih kondisi Aa juga masih dalam fase memantapkan hati, memantapkan diri untuk keinginan menikah ini.

Mah, bukan pula Aa tak suka perempuan. Aa suka sekali. Tapi Mah, ijinkan Aa bercerita sejenak tentang apa yang Aa hadapi selama ini.
– waktu SD mungkin mamah ingat Aa kan pernah suka sama teman sekelas Aa, tapi apadaya Mah, sebutan bencong / banci membuat Aa tak berani bercanda apalagi menggoda seperti yg anak lain suka lakukan.
– waktu SMP, aa juga pernah suka sama seseorang tapi Mah, berhubung Aa ga berada, ga jago olahraga, dan sebutan banci yang masih melekat, aa ditolak sama dia. Bahkan lewat perantaraan orang lain.
– waktu SMA, aa juga kembali suka sama seorang gadis remaja, tapi apa daya, lagi lagi keterbatasan Aa di bidang olahraga dan keahlian layaknya remaja laki laki lain membuat aa kembali ditolak.
– waktu Kuliah, aa juga jatuh cinta sama 2 orang wanita, yang satu memilih menikah dengan orang lain pilihan orangtuanya sedang yang satu ternyata tak pernah mengganggap Aa.

Mah, semua rangkaian peristiwa itu begitu melekat. Membuat aa pribadi menjadi tidak percaya diri setiap berhadapan dengan seorang wanita. Aa takut menghadapi cibiran merendahkan seperti yg dulu aa terima.

Mah, mungkin aa terlalu cengeng sebagai seorang laki laki, tapi aa yakin, Mamah sebagai Mamah aa mungkin akan sedikit mengerti rasanya, meski aa juga ga bisa menjamin itu. ”

Begitulah jawabku dalam hati. Pernyataan yang mengalir begitu saja dalam hati sebagai jawaban pertanyaan Mamah, sambil memilih bersimpuh memohon kepada Dia Sang Maha Perencana. Sang Maha Cinta.

Sayonara Love

Pagi menjelang. Gema takbir riuh berkumandang dari seluruh pelosok langgar atau mushola dikampungku. Mamah tampak asyik menata makanan di meja. Adek juga sudah bangun dan sedang menyapu. Sementara bapak sedang duduk manis menghangatkan badan di tungku perapian.

Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Entah sudah jadi kebiasaan atau memang malas, tapi setiap kepulanganku ke rumah selalu didominasi dengan tidur dan tidur. Kulirik handphone ku yang kutaruh disisi bantal, tampak kerlap kerlip merah. Wah.. Pasti rangkaian ucapan idul fitri niy, tebakku.

Bergegas aku pergi mandi, bersiap untuk shalat ied di masjid raya. Mengenakan kemeja takwa warna biru gelap, sarung dan peci bermotif warna senja aku berangkat. Handphone sengaja tak kubawa karena aku yakin penduduk disini tidak terbiasa dan takkan mengizinkan ada ponsel aktif didalam masjid saat khutbah.

Pelaksanaan shalat ied berlangsung khidmat. Banyak wajah wajah lama dan baru yang datang meramai penuh sesakkan. Singkat cerita, selesai halal bihalal ke saudara dan tetangga, akhirnya aku bisa check handphone yang sedari pagi belum aku lihat. Serangkaian pesan masuk, berikut juga broadcast dan beberapa notifikasi di fb, twitter dan path.

Setelah dicheck satu persatu, mataku tertuju pada sejumlah pesan yang berasal darinya. Feelingku sudah tidak enak memang dari kemarin, mengingat curhatan dia sebelumnya.

Dia: den, kamu tahu nggak, dia tiba tiba block WA aku di kedua nomor handphonenya. Salah aku apa deni??? Aku kan selama ini ga pernah berlebihan kalau tanya. Dia bilang lagi operasi, lagi antar mamahnya, lagi liat tv dsb, aku ga pernah tanya sama siapa? Bener? Ga bohong? Ga pernah kan den??

Dia: Kamu tahu sendiri aku kayak gimana. Kalaupun aku kemarin tanya soal status status dia di FB, aku ga bermaksud mata matain kok. Aku cuma mau tahu dia jujur atau nggak. Dan ternyata dia ga jujur sama aku.

Dia: aku juga ga cecer dia dengan bilang: kenapa bohong? Apa alasannya? Nggak den. Aku ga gitu. Aku cuma bilang: kabarin ya kalau sudah sampai jogja dan hati hati di kereta. Salah den aku bilang gitu???

Demi menyimak serangkaian pesan diatas, aku seperti biasa hanya menarik nafas panjang. Oh kawan, sampai kapan kau terbebas dari derita cinta, begitu gumamku.

Aku: sorry baru balas. Tadi habis muter muter salaman. kamu kenapa masih mikirin dia si? Ini kan momen lebaran, sudah jangan dipikirkan, nikmati saja momen kamu sama keluarga dirumah. Aku turut berduka ya sama masalah yang kamu hadapi sekarang. Kan aku sudah pernah bilang dari dulu, jangan pernah pakai sepenuh hati sama orang yang kamu sendiri ga gitu yakin. Apalagi kalian LDR.

Aku: cinta itu adalah kejujuran rasa dari hati yang termanifestasi dalam ucapan dan sikap yang sesuai dan selaras satu sama lain. Bila ucapan dan sikap itu berbeda, maka bisa dipastikan itu bukanlah cinta. Sekarang, kamu tinggal runut, dari awal sampai hari ini, lebih banyak yang selaras atau tidak?

Aku: pun jika ternyata ia memilih pergi, jangan pernah melarang. Karena cinta akan bertahan dan menahankan diri kalau memang ia ingin bersemayam. Buat apa menyimpan telur buaya di kandang ayam? Toh begitu ia dewasa, justru ayam tersebut yang akan ia makan.

“Lepaskanlah kalau memang ia ingin lepas. Bebaskanlah kalau kamu merasa tersiksa. Kenyataan boleh pahit, tapi sekiranya pahit itu adalah awal dari manis yang akan kamu dapat?”

Berbahagialah…”

Aku mencintainya dengan hati, tapi ia hanya mencintaiku sebatas ucapan.

Aku meluangkan waktu disela kesibukanku untuk memperhatikannya, tapi ia memperhatikanku hanya dikala lengang.

Aku bercerita tentang hariku padanya, tapi ia hanya bercerita kala kutanya. Selebihnya ia memilih membagi itu semua kepada orang lain.

Untukmu yang ada disana,

Aku paham betul tugas dan kewajibanmu sehari hari. Tapi aku punya pertanyaan untukmu:

“Bukankah tugas seorang dokter untuk sebisa mungkin mengobati? Tapi kenapa melukai yang kau lakukan padaku?”
“Bukankah sudah tugas seorang dokter memberikan resep yang tepat kepada pasiennya? Tapi kenapa hanya kebohongan yg menutupi kebohongan yang lain yang sering kau ucapkan?”

Aku selama ini telah buta karena bertahan pada orang yang salah. Tapi malam ini, ijinkan aku mengucap salam perpisahan. Berbahagialah dengan siapapun disana yang mampu menemanimu berlibur setiap saat, yang mampu memberikan perhatiannya padamu setiap saat. Berbahagialah.. Berbahagialah…