Mendung

​”Den, apakah boleh aku memilih tidak menanam padi disawah karena sadar aku masih belum bisa menghilangkan rumput liar dihalamanku sendiri?” 

Sebuah tanya meluncur dari bibirnya sore ini. Kami sedang duduk diteras atas, menikmati teh hangat yang aku sengaja buat. Diluar hujan turun cukup deras sore ini. Beberapa penghuni kost lain lebih memilih asyik terlelap menanti magrib. 
“Kenapa kamu tiba tiba bertanya seperti itu? Apa ada hubungannya dengan kepulangan kamu kemarin?” Aku balik tanya. 

“Iya den.. Seperti itulah.. Sekarang, bagaimana menurutmu? Jujur, aku memilih diam kemarin. Tak berani menjawab, tak berani meng-iyakan atau menolak.” Ujarnya. 

“Aku juga bingung mau jawab apa. Paling aku cuma bisa jawab, ikutilah apa yg kata hati kamu ingin lakukan. Jangan pernah melakukan sesuatu karena terpaksa dan ingin menyenangkan hati siapapun. Karena aku khawatir bukan senang yang akan kamu beri, tapi duka dan luka yg kan didapat dikemudian hari. 

Apapun nanti pilihan yg kamu ambil, lakukan dengan benar, dengan konsisten. Jangan setengah setengah. Sekiranya kamu butuh waktu untuk mempersiapkan, bilang saja sama mereka memang itu adanya. Bahwa bukan masalah cepat atau lambat tapi tepat atau tidak. Dan aku yakin, Tuhan selalu memberikan restuNya untuk setiap niat baik hingga ia mewujud di waktu yg tepat.” Jawabku. 

Ia hanya menatap ke depan mendengar jawabanku barusan. Aku sendiri, mencerna ulang jawabanku barusan. Selayaknya bercermin. 

Dan tiba tiba suara deras air hujan yang turun serta dingin udara sore yg menyergap terasa bagai alunan irama yg menyembilu jauh kedalam lubuk hatiku sendiri.

Jujur

Pagi pagi sekali serangkain pesan hadir di whatsapp ku. Wah ada apa gerangan niy, tanyaku dalam hati. Aku lihat siapa siapa pengirimnya, dia lagi ternyata. Aku hanya bisa menggeleng pelan, lalu beranjak mencuci muka sebentar sebelum membaca dan membalas bom pesan darinya pagi ini.

[7/5, 08:13] : Den, aq sdh tidak tahan
[7/5, 08:13] : Dia bohong terus
[7/5, 08:13] : Trnyata di ke jogja
[7/5, 08:13] : Tuh update status naik kereta
[7/5, 08:13] : Pdhl bilangnya mau ke bali
[7/5, 08:14] : Brngkt sore naik pesawat
[7/5, 08:18] : Aq mau udahan saja Den,
[7/5, 08:38] : Den, jangan komentar dulu
[7/5, 08:38] : Aq sdh bilang blak blakan sama dia
[7/5, 08:38] : Aq bilang gini:
[7/5, 08:39] : “Selamat berlibur ya.. Hati hati di kereta.. Dan kabarin sj kalau sampai ke jogja..”
[7/5, 08:39] : Terserah kalau dia mau komentar apa
[7/5, 08:39] : Km tahu kan sy paling tidak suka dibohongin. Kamu boleh komentar sekarang.. Aku sebal den..

Itulah serangkain pesannya pagi ini. Bisa kubayangkan ekspresi wajahnya saat ia menuliskan pesan pesan ini. Pasti pipinya merona merah, bukan karena malu tapi menahan marah.

Aku diam sejenak seperti biasa sebelum membalas pesannya. Bagiku kisahnya bukan kisah biasa. Mungkin tema nya sama dengan cerita cinta lainnya, tapi karena emosi yang ia hadirkanlah yang membedakan ini semua.

“Kata seorang penulis: kejujuran itu memang pedih adanya tapi mungkin itu memang jawaban yang harus kamu dapat. Kebanyakan, orang orang yang sedang jatuh cinta menutup mata dari kejujuran realita yang ada dihadapan. Berharap akan ada keajaiban yang mampu mengubah itu semua. Kalau satu kali dusta, mungkin masih dimaklumi. Tapi kalau sudah sekian dusta hadir, apa kamu masih mau menyebut itu cinta?

Sebagai sahabatmu, aku cuma mau bilang: Jangan pernah kamu sekali kali bertahan dengan seseorang hanya karena kamu merasa takut sendirian. Bertahanlah untuk orang yang mau mempertahankanmu. Cirinya sederhana, kejujuran dan kenyamanan. Bukan dusta dan rasa was was. Sekarang, hubunganmu dengan dia termasuk yang mana? Kamu sendiri yang bisa menilai dan putuskan.”

Jawabku panjang lebar. Belum ada tanda dibaca olehnya. Namun pagi ini, aku yakin sekali sepotong hati akan ada yang hilang, lalu menunggu hadirnya sepotong hati yang baru meski entah kapan..”

Sepenggal Kisah: Rindu

Apakah kau pernah melarang rindu?
Dengan cara apa kau melakukannya?
Kenapa kau lakukan itu?
Adakah karena ia terlarang?
Atau ada alasan lain?

Pertanyaan pertanyaan ini seringkali muncul dibenaknya. Ntah kenapa. Ia bahkan berulangkali bertanya kepadaku. Dan aku hanya bisa menjawab sekenanya atas pertanyaan tersebut.

Aku bilang: Pernah. Dengan tidak mengatakan. Karena aku tahu rindu ini takkan berbalas. Tidak juga. Rahasia.

Biasanya ia hanya akan bilang: ‘hmm..’ , lalu asyik kembali dengan pikirannya sendiri. Itulah dia. Terkadang aku suka dikejutkan dengan pertanyaan pertanyaan yg bagiku aneh, tapi menarik untuk aku simak. Terkadang mendengarnya bercerita dengan penuh ekspresi adalah menjadi satu kegiatan favoritku. Senyumnya yang riang, mata yg berbinar dan sesekali gelak tawa manja mengiringi kisah yang ia tuturkan. Manis. Begitu aku melihatnya.

Namun ibarat kata pepatah. Dimana ada manis, disitu ada pahit. Tak bisa kupungkiri, dibalik manisnya ia bercerita aku tahu (entah bagaimana caranya aku tahu), ia menyembunyikan getir terdalam. Getir yang aku sendiripun tak sanggup untuk menghapusnya dan menggantinya dengan tawa riang.

Dan sejalan dengan itu, kalau ia bertanya lagi tentang rindu, maka aku akan menjawab: Masih. Berkata aku tidak pernah merindu. Bisa jadi. Karena rindu itu untuk kamu. Begitulah jawabku yg sebenarnya (dalam hati).

Sepenggal Kisah: Angin

Ada percikan kebahagiaan yg aku lihat dari matanya saat ia bercerita kepadaku senja tadi. Cerita tentang ia dan kamu. Ia tampak tersenyum manakala ia mendapat balasan pesan singkat darimu. Padahal bagiku sederhana sbg pendengar, tapi baginya jawabanmu seolah menjadi obat mujarab dari sebuah penantian.

Kukira rona bahagia itu akan bertahan lama, tapi aku salah. Mendadak ia kembali kehilangam sorot mata yg sempat memendar cahaya. Ia kali ini tertunduk. Aku hafal sekali sikap ini. Ia berkata padaku bahwa kau menolak rencananya untuk bisa bertemu dengannya dan kau hanya bilang: “aku ga bisa. Ok. Aq lagi ga ada anggaran untuk jalan jalan.”

Tahukah kau, dia berulang kali merengek padaku untuk pergi ke pantai seolah ia tak pernah pergi kesana sebelumnya. Tapi aku tahu, kalaupun aku mengiyakan, semuanya percuma karena dihatinya ia ingin bisa menghabiskan waktu bersama itu denganmu. Ya, meski hanya sekedar berjalan di dermaga atau menyusuri jejak di pinggir pantai.

Tahukah kau mengenai hal ini? Bahwa di setiap malam menjelang tidur ia mengirimkan pesan singkat, hampir setiap malam, mengungkapkan betapa ia rindu pada masa dimana kalian bersama. Dan tahukah kau, kalau kau adalah serpihan terakhir yang tersisa dihatinya dari keping ia sebut sebagai “nakama”?

Sepenggal Kisah: Angin

Ia berusaha melangkahkan kaki dengan sisa tenaga yg ada. Tampak sangat gontai. Rapuh, rentan untuk terjatuh. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Tak berani bertanya kenapa, atau memberikan tangan untuk sekedar menyangga. Karena aku tahu, ia hanya sedang ingin sendiri sekarang. Seperti biasa.

Wajahnya tampak sendu. Layu. Sinar matanya kian meredup dengan senyum yg kian pudar. Oh kau yang ada disana, tak bisakah kau bagi laramu denganku? Aku yg hanya bisa diam merasa tak berguna. Berharap diamku bisa diterjemahkan dan menjelma menjadi suara penyemangat bagimu. Sungguh.

Kini ia berhenti. Disandarkan tubuhnya di sebuah bangku taman. Dipeluknya kedua lutut, lalu tangispun pecah tanpa mampu ia cegah. Tergugu karena belenggu. Dan aku, lagi lagi hanya mampu melihatnya dari balik sebuah pohon. Pilu.

Kuberanikan diri menghampiri dan perlahan, ku duduk disampingnya. Kata yg hendak kuucap mendadak tercegat demi melihat dan mendengar isak tangisnya. Seolah butuh ratusan kalori untuk sekedarku berkata: “kamu kenapa? Jangan menangis lagi..”

Ia menoleh sejenak. Mata dan hidungya tampak merah. Sembap. Derai lirih air mata masih tampak mengalir pelan. Bibirnya gemeretak, dan sambil menatap kosong kedepan ia menjawab: “apa gw ga berhak buat bahagia?”