Sepenggal Kisah: Rindu

Apakah kau pernah melarang rindu?
Dengan cara apa kau melakukannya?
Kenapa kau lakukan itu?
Adakah karena ia terlarang?
Atau ada alasan lain?

Pertanyaan pertanyaan ini seringkali muncul dibenaknya. Ntah kenapa. Ia bahkan berulangkali bertanya kepadaku. Dan aku hanya bisa menjawab sekenanya atas pertanyaan tersebut.

Aku bilang: Pernah. Dengan tidak mengatakan. Karena aku tahu rindu ini takkan berbalas. Tidak juga. Rahasia.

Biasanya ia hanya akan bilang: ‘hmm..’ , lalu asyik kembali dengan pikirannya sendiri. Itulah dia. Terkadang aku suka dikejutkan dengan pertanyaan pertanyaan yg bagiku aneh, tapi menarik untuk aku simak. Terkadang mendengarnya bercerita dengan penuh ekspresi adalah menjadi satu kegiatan favoritku. Senyumnya yang riang, mata yg berbinar dan sesekali gelak tawa manja mengiringi kisah yang ia tuturkan. Manis. Begitu aku melihatnya.

Namun ibarat kata pepatah. Dimana ada manis, disitu ada pahit. Tak bisa kupungkiri, dibalik manisnya ia bercerita aku tahu (entah bagaimana caranya aku tahu), ia menyembunyikan getir terdalam. Getir yang aku sendiripun tak sanggup untuk menghapusnya dan menggantinya dengan tawa riang.

Dan sejalan dengan itu, kalau ia bertanya lagi tentang rindu, maka aku akan menjawab: Masih. Berkata aku tidak pernah merindu. Bisa jadi. Karena rindu itu untuk kamu. Begitulah jawabku yg sebenarnya (dalam hati).

Sepenggal Kisah: Salju I

Sore ini hujan kembali turun. Awan gelap tampak kuat menyelimuti langit ibukota. Ia terlihat sedang duduk dibalkon rumah. Meresapi bau tanah kala hujan adalah favoritnya. Sementara itu, matanya takut takut melihat keluar, mengawasi sang kilat yg masih belum mampu ia taklukan kemunculannya.

Sesekali ditatap layar ponselnya, muncul notifikasi warna hijau yang berarti dia sedang aktif juga. Namun, ia hanya bisa membaca namanya tanpa mampu memulai untuk sekedar mengucap sapa. Dalam hati sesekali ia berdoa, agar ada keajaiban hingga ia yg disana tergerak hatinya agar mau menyapanya lebih dulu.

Tapi apa itu mungkin?

Kami bertemu di satu lorong saat itu. Lorong ilmu, ia menyebutnya demikian. Cukup sering kami menghabiskan waktu disana, terutama mengamati kisah perjalanan seorang tabib perempuan pertama korea. Beriring waktu, rasa kagum tumbuh di salah satu diantara kami. Hingga ada yg memutuskan untuk bisa mengikuti jejaknya. Bukan karena ingin bersaing, tapi ingin beriring.

Suatu malam, hujan deras. Saat itu mereka terjebak di pelataran, mengingat tidak ada yang membawa payung. Ia yg kagum padanya berusaha jujur dan berkata: saya ingin bisa seperti Anda, saya berharap saya bisa bersama sama belajar. Tapi jawaban yg ia dengar bukanlah apa yg ia selama ini harapkan.

“Jangan pernah menjadi bayangan saya. Karena saya tidak mau terbebani oleh siapapun. Kalaupun saya ingin mengajari orang lain, itu bukan kamu.”

Begitu jawabnya dan ia pun pergi menerobos hujan lebih dulu. 
Mendengar itu, ia hanya terpaku. Dan tanpa sadar, ia menangis. Ia yang aku tahu takut akan petir, malam itu, ia beranikan diri berlari menembus hujan hanya untuk sekedar menyamarkan derai air mata dan membiaskan luka dalam hatinya.