Sepenggal Kisah: Rindu

Apakah kau pernah melarang rindu?
Dengan cara apa kau melakukannya?
Kenapa kau lakukan itu?
Adakah karena ia terlarang?
Atau ada alasan lain?

Pertanyaan pertanyaan ini seringkali muncul dibenaknya. Ntah kenapa. Ia bahkan berulangkali bertanya kepadaku. Dan aku hanya bisa menjawab sekenanya atas pertanyaan tersebut.

Aku bilang: Pernah. Dengan tidak mengatakan. Karena aku tahu rindu ini takkan berbalas. Tidak juga. Rahasia.

Biasanya ia hanya akan bilang: ‘hmm..’ , lalu asyik kembali dengan pikirannya sendiri. Itulah dia. Terkadang aku suka dikejutkan dengan pertanyaan pertanyaan yg bagiku aneh, tapi menarik untuk aku simak. Terkadang mendengarnya bercerita dengan penuh ekspresi adalah menjadi satu kegiatan favoritku. Senyumnya yang riang, mata yg berbinar dan sesekali gelak tawa manja mengiringi kisah yang ia tuturkan. Manis. Begitu aku melihatnya.

Namun ibarat kata pepatah. Dimana ada manis, disitu ada pahit. Tak bisa kupungkiri, dibalik manisnya ia bercerita aku tahu (entah bagaimana caranya aku tahu), ia menyembunyikan getir terdalam. Getir yang aku sendiripun tak sanggup untuk menghapusnya dan menggantinya dengan tawa riang.

Dan sejalan dengan itu, kalau ia bertanya lagi tentang rindu, maka aku akan menjawab: Masih. Berkata aku tidak pernah merindu. Bisa jadi. Karena rindu itu untuk kamu. Begitulah jawabku yg sebenarnya (dalam hati).

Sepenggal Kisah: Angin

Ada percikan kebahagiaan yg aku lihat dari matanya saat ia bercerita kepadaku senja tadi. Cerita tentang ia dan kamu. Ia tampak tersenyum manakala ia mendapat balasan pesan singkat darimu. Padahal bagiku sederhana sbg pendengar, tapi baginya jawabanmu seolah menjadi obat mujarab dari sebuah penantian.

Kukira rona bahagia itu akan bertahan lama, tapi aku salah. Mendadak ia kembali kehilangam sorot mata yg sempat memendar cahaya. Ia kali ini tertunduk. Aku hafal sekali sikap ini. Ia berkata padaku bahwa kau menolak rencananya untuk bisa bertemu dengannya dan kau hanya bilang: “aku ga bisa. Ok. Aq lagi ga ada anggaran untuk jalan jalan.”

Tahukah kau, dia berulang kali merengek padaku untuk pergi ke pantai seolah ia tak pernah pergi kesana sebelumnya. Tapi aku tahu, kalaupun aku mengiyakan, semuanya percuma karena dihatinya ia ingin bisa menghabiskan waktu bersama itu denganmu. Ya, meski hanya sekedar berjalan di dermaga atau menyusuri jejak di pinggir pantai.

Tahukah kau mengenai hal ini? Bahwa di setiap malam menjelang tidur ia mengirimkan pesan singkat, hampir setiap malam, mengungkapkan betapa ia rindu pada masa dimana kalian bersama. Dan tahukah kau, kalau kau adalah serpihan terakhir yang tersisa dihatinya dari keping ia sebut sebagai “nakama”?

Sepenggal Kisah: Angin

Ia berusaha melangkahkan kaki dengan sisa tenaga yg ada. Tampak sangat gontai. Rapuh, rentan untuk terjatuh. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Tak berani bertanya kenapa, atau memberikan tangan untuk sekedar menyangga. Karena aku tahu, ia hanya sedang ingin sendiri sekarang. Seperti biasa.

Wajahnya tampak sendu. Layu. Sinar matanya kian meredup dengan senyum yg kian pudar. Oh kau yang ada disana, tak bisakah kau bagi laramu denganku? Aku yg hanya bisa diam merasa tak berguna. Berharap diamku bisa diterjemahkan dan menjelma menjadi suara penyemangat bagimu. Sungguh.

Kini ia berhenti. Disandarkan tubuhnya di sebuah bangku taman. Dipeluknya kedua lutut, lalu tangispun pecah tanpa mampu ia cegah. Tergugu karena belenggu. Dan aku, lagi lagi hanya mampu melihatnya dari balik sebuah pohon. Pilu.

Kuberanikan diri menghampiri dan perlahan, ku duduk disampingnya. Kata yg hendak kuucap mendadak tercegat demi melihat dan mendengar isak tangisnya. Seolah butuh ratusan kalori untuk sekedarku berkata: “kamu kenapa? Jangan menangis lagi..”

Ia menoleh sejenak. Mata dan hidungya tampak merah. Sembap. Derai lirih air mata masih tampak mengalir pelan. Bibirnya gemeretak, dan sambil menatap kosong kedepan ia menjawab: “apa gw ga berhak buat bahagia?”

Sepenggal Kisah: Salju I

Sore ini hujan kembali turun. Awan gelap tampak kuat menyelimuti langit ibukota. Ia terlihat sedang duduk dibalkon rumah. Meresapi bau tanah kala hujan adalah favoritnya. Sementara itu, matanya takut takut melihat keluar, mengawasi sang kilat yg masih belum mampu ia taklukan kemunculannya.

Sesekali ditatap layar ponselnya, muncul notifikasi warna hijau yang berarti dia sedang aktif juga. Namun, ia hanya bisa membaca namanya tanpa mampu memulai untuk sekedar mengucap sapa. Dalam hati sesekali ia berdoa, agar ada keajaiban hingga ia yg disana tergerak hatinya agar mau menyapanya lebih dulu.

Tapi apa itu mungkin?

Kami bertemu di satu lorong saat itu. Lorong ilmu, ia menyebutnya demikian. Cukup sering kami menghabiskan waktu disana, terutama mengamati kisah perjalanan seorang tabib perempuan pertama korea. Beriring waktu, rasa kagum tumbuh di salah satu diantara kami. Hingga ada yg memutuskan untuk bisa mengikuti jejaknya. Bukan karena ingin bersaing, tapi ingin beriring.

Suatu malam, hujan deras. Saat itu mereka terjebak di pelataran, mengingat tidak ada yang membawa payung. Ia yg kagum padanya berusaha jujur dan berkata: saya ingin bisa seperti Anda, saya berharap saya bisa bersama sama belajar. Tapi jawaban yg ia dengar bukanlah apa yg ia selama ini harapkan.

“Jangan pernah menjadi bayangan saya. Karena saya tidak mau terbebani oleh siapapun. Kalaupun saya ingin mengajari orang lain, itu bukan kamu.”

Begitu jawabnya dan ia pun pergi menerobos hujan lebih dulu. 
Mendengar itu, ia hanya terpaku. Dan tanpa sadar, ia menangis. Ia yang aku tahu takut akan petir, malam itu, ia beranikan diri berlari menembus hujan hanya untuk sekedar menyamarkan derai air mata dan membiaskan luka dalam hatinya.